May 17, 2011

Life Happens (part.2)

Ada kalanya dalam hidup, kita merasa tertinggal begitu jauh dari orang-orang di sekitar.

Unfortunately, waktu terus berjalan, tak peduli apapun yang kau alami dan kau rasakan. Dan dengan berjalannya waktu pula saya menyadari, bahwa jika saja kita bisa melihat dari ketinggian yang berbeda dan membuka mata selebar-lebarnya, pasti kita bisa selalu memilih perspektif lain dalam melihat dunia ini.


Bahwa dunia ini tidak selebar daun kelor, maka kita tidak harus selalu mengenakan kacamata kuda yang terkadang hanya membatasi jarak pandang.

Dari satu perspektif yang terpilih, bisa saja kita melihat bahwa dalam perlombaan, kita tertinggal dari peserta lainnya. Namun dari sisi lainnya, kemungkinan besar ada fakta dalam dunia ini, yang dapat menyadarkan bahwa sebenarnya hidup kita ini tidak buruk-buruk amat kok.

(Ternyata) masih ada orang-orang yg keadaannya lebih ‘parah’ daripada kita. Misalnya saat kita ‘incidentally’ bertemu dengan mantan gebetan yang physically dulunya oke banget, sekarang malah berperut buncit dengan rambut menipis macam Pangeran William; atau menemukan bahwa seorang yang dulunya adalah kembang desa, sekarang justru sedang “mekar-mekarnya”.

Summarizing perbincangan saya dengan seorang teman akan hal ini, dia berkata pada saya, “Oh, jadi waktu lo merasa down, untuk membuat mental lo balik lagi adalah dengan melihat orang lain yang lebih down daripada elo ya?”

Hmmm.. walaupun kejam, tapi ternyata trick ini memang ampuh untuk mengangkat mental yang sedang jatuh :P

Otherwise, please bear in mind that the race ain’t over yet. That means you still could chase your loss by doing the best effort you could.

So, whenever you feel down about yourself, you might wanna check what’s below you

It’s all about the height..

May 14, 2011

Ngidam Manisan Mangga

*Tanggal-tanggal mendekati masa period *

Seluruh permukaan di indra pengecap sudah menantikan rasa masam-manis yang muncul dari sensasi mengunyahnya sebuah manisan mangga. Ya, manisan mangga.

Di suatu sore, di tengah-tengah dateline yang merecet brebet beut itu, saya ‘terpaksa’ mencari-cari tempat yang menjual manisan itu. Sudah terbayang manisan mangga macam apa yang saya inginkan. Maka meluncurlah saya ke mart di area basement kantor sambil mengantongi selembar uang sepuluh ribuan. Memasuki mart terdekat, saya kemudian mencari manisan tersebut, hmm.. tapi kok ga ada ya? Lalu saya bertanya pada sang pramuniaga dan hasilnya, memang mereka tidak menyediakan manisan tersebut :(

Tidak menyerah dengan usaha pencarian itu, saya ngesot ke mart yang lokasinya terpisah dan lebih jauh pastinya. Mengelilingi lorong paling kanan, kemudian ke lorong sebelahnya…dan YAK!!! Ada beberapa baris manisan tersebut. YEAY!!!! Akhirnya kesampean juga makan manisan itu. Tapi….

Eng-ing-enggggg… pas saya lihat tag harganya: 11,500 – ARRRGGGGGHHHH….!!!! Tidaaaaaak…
Uang yang saya bawa kurang Seribu Lima Ratus Peraakkk

Usaha untuk ngutang di mart tersebut tidak berani saya lakukan, karena saya memang bukan pelanggan setia disana, huuhuhuhu… So then, dengan sangat kecewa, saya harus kembali ke lantai atas dan… menyerah?? Tentu tidak! Saya kembali ke atas untuk mengambil uang lebih dan kembali ke mart tersebut dan membelinya. HA!




















There is it. The self-fulfilling manisan mangga.

And within ten minutes, I’ve eaten all of it. HA!!



















*Sigh.. woman and their hormone…

Thanks to..

Hujan dan petir tanpa henti selama hampir dua jam, yang tidak memberikan kesempatan pada saya untuk menghabiskan waktu luang saya hanya dengan menonton acara tivi yang menyenangkan, namun wasting for nothing. Karena dengan adanya hujan dan petir itu, saya bisa fokus untuk kembali menulis & memposting beberapa ide yang selama ini hanya saya tinggalkan dalam draft saja.

-There is no such things as coincidence-

Seberapa tinggi dindingmu?


Terinspirasi dari perayaan tahun baru kemarin (wew, sudah lama juga ya?), terbesit pertanyaan dalam diri saya, apakah ‘dinding’ yang saya gunakan sebagai pembatas antara saya dengan orang-orang disekitar sudah berada pada ketinggian yang tepat? Apakah dinding itu terlalu tinggi? Atau justru terlalu rendah?

Seperti layaknya perayaan tahun baru lainnya, kembang api digunakan sebagai salah satu peramai perayaan itu. Dan sebagaimana tahun-tahun lainnya, saya kembali berperan sebagai penikmat kembang api, alias penonton yang baik untuk kembang api yang dipasang oleh tetangga sekitar (males beli bo :P)


Kebetulan, di acara tahun baru kemarin, saya berkumpul bersama keluarga besar di rumah dengan pekarangan yang luas, sehingga kami bisa BBQ-an, ngobrol2 serta menikmati pemandangan atas kembang api-nya orang lain.

Saking tingginya dinding yang terpasang di rumah saudara saya itu, seringkali kami mengalami kesulitan untuk menikmati si kembang api. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk pindah ke lantai atas, untuk melihat pemandangan tersebut dari balkon.

Dan ternyata berhasil, kami bisa melihat pemandangan indah itu dengan lebih mudah daripada sebelumnya. Dan dari balkon itu juga, saya menyadari bahwa sebenarnya ada begitu banyak pemandangan kembang api yang bertebaran, hanya saja, dikarenakan dinding pembatas yang terlalu tinggi, maka kami kehilangan kesempatan melihatnya.

Bahwa sebenarnya penempatan dinding yang terlalu tinggi, terkadang merugikan si empunya, karena akan membuatnya kehilangan pemandangan indah di sekitar yang tidak mencapai batas tinggi dindingmu. Tetapi penggunaan dinding yang terlalu rendah bukan pula pilihan yang terbaik, karena dapat membuat fungsi utama dindingmu dalam fungsi pengamanan, tidak berjalan dengan optimal.

Maka yang terbaik adalah dengan membangun dindingmu pada ketinggian yang tepat. Atau mungkin, jika kamu merasa dinding tinggimu sudah berada pada kadar yang tepat, cobalah sesekali melihat dari ketinggian yang berbeda, karena mungkin dengan itu, kamu baru akan menyadari betapa banyak dan indahnya pemandangan yang kamu lewatkan :)