August 27, 2010

Such a point of view


Pernah gak sih, kalian mengadakan suatu acara, lalu saat kalian menelpon orang-orang yang diundang, memastikan mereka akan datang ke acara tersebut, mereka yang ditelpon menjawab dengan perkataan, “Insya Allah…”?

Buat saya dan (mungkin) sebagian besar orang, jawaban tersebut biasanya mengindikasikan bahwa si yang diundang, kemungkinan besar, tidak akan datang. Setuju..?

Karena setidaknya untuk saya, jawaban tesebut adalah jawaban “teraman” atas undangan dari si pengundang. Entah karena merasa malas untuk datang ke acara tersebut, atau karena ada alasan lain yang dirasa tidak akan cukup memuaskan untuk menolak si pengundang, sehingga “jawaban jitu” tersebut dikeluarkan dari mulut sendiri. **haha, ketauan deh kalo sering pake jawaban itu :P

Well then, hari ini saya menemukan satu sudut pandang baru, dimana kata tersebut, jawaban tersebut telah “dikembalikan” pada arti harafiah-nya..

Saat sedang bertanya pada seorang teman, mengenai suatu acara:
Saya : X, nanti lo jadi buka bersama di luar?
X : Jadi, emang kenapa?
Saya : Hmm.. ya gapapa sih, Cuma kayaknya acara buka bersama kantor jadinya diadain hari ini. Lo ga bisa cancel acara yang itu ya?
X : Waduh… berat Dit, tadi gue udah bilang insya Allah..

Dan saya pun terhentak.. disinilah saya menyadari betapa berbedanya saya dan dia, kontrasnya sudut pandang antara dua pribadi. Buat saya (biasanya), jawaban insya Allah itu, explicitly, digunakan sebagai alasan untuk ngeles dari suatu acara. Tetapi untuk pribadi yang satunya, jawaban itu justru dijadikan sebagai penguat bahwa dia PASTI akan datang, atau setidaknya berusaha untuk datang ke acara tersebut.

So, which one is yours?

PS: you might also want to check this out http://mysuperkids.net/the-use-of-insya-allah-is-not-for-things-you-dont-want-to-commit/

August 08, 2010

Is there any such thing...?

As I recall some of the memories, suddenly, a word of unconditional love passing by.

Unconditional love.

Do any of such things exist?

Take parent – child relationship that most of people mentioned as the example of unconditional love. Can that be classified as unconditional love?
Because, as I see it from my point of view, it is Un-unconditional. Parents do love their child because they are being positioned as the parents. Am I right?
So, again the question remains, does unconditional love do exist...?

Resiko ketidak-universal-an bahasa


Sikon: seorang officer (O) yang barely understand bahasa lokal lain selain bahasa Indonesia, sedang berdiskusi dan menjelaskan suatu hal melalui telepon dengan seorang staf (S) daerah yang lebih fasih dalam berbahasa Jawa. And here it goes

O: Jadi begini, Bu.. kalau misalnya nanti diminta untuk membuat laporan yang diminta, Ibu harus bla bla bla…
S : Oh.. Enggih Pak, enggih..
O : Bukan bu, Jadi… bla bla bla (menjelaskan kembali apa yang barusan ia jelaskan)
S : Enggih Pak, enggih..
O : Loh, Ibu masi belum mengerti apa yang barusan saya jelaskan ya?
S : Enggih Pak..
O : Hmm... masih nggak ngerti ya?
S : bukan enggak ngerti, Pak.. Enggih itu artinya Iya.. itu bahasa Jawa toh, Pak
O : ooo… (sambil tertawa sendiri menertawakan “kebodohan”nya)


Seandainya si Mr. Officer tidak se-pede itu mengira enggih sama dengan enggak, ia tidak perlu menjelaskan ulang kepada si staf. Atau mungkin, lain kali sebaiknya jika sedang berbicara via telepon, pake bahasa Indonesia aja kali yeee…