November 21, 2010

When we fell in love…

Menyimpulkan dari hasil perbincangan larut malam saya dengan seorang teman senior, dan pengalaman berbelanja saya dengan nyokap, ada beberapa hal yang dapat saya simpulkan dari perasaan cinta; jatuh cinta; serta perjalanan dalam proses menempuh jatuh cintanya.

Saat kita jatuh cinta, kita mungkin jatuh pada penampilan luarnya, cover, sampul depan, apalah itu kalian sebutkan sendiri.. dan diawal mula perasaan itu muncul, kita bisa saja jatuh cinta secara tidak terbatas, tidak ber-limit, tanpa definisi.

Akan tetapi, saat kita mulai menjalaninya, kita pasti akan menemukan kekurangan, keterbatasan, bahkan halangan bagi kita untuk mencintainya lebih jauh. Dan dalam proses itu juga, bukan tidak mungkin bagi masing-masing dari kita untuk menemukan pembanding dari yang dicintai pada awalnya. Saat pada kenyataannya sang pembanding lebih baik dari yang dibandingkan, akankah kita dengan mudahnya berpaling pada yang lain?

In my own opinion, disaat kita masih belum menetapkan komitmen paten dalam menjalani hubungan itu -mengucap janji suci pernikahan dalam hal jatuh cinta pada orang, dan membeli untuk barang- maka sah-sah saja kalau kita putar haluan.

Konsekuensi yang akan muncul dari tindakan itu, paling tidak, akan timbul perasaan tidak enak terhadap dia yang kita tinggalkan; selain dari itu, it’s a decision need to be made, so made up your mind. Jangan plin-plan, jangan gak enakan, karena once you made up your mind, there shall be no turning back, apalagi pen-dua-aan, nobody likes to share their private belonging, trust me. Dan satu lagi, itu hidup elo.

Maka jatuh cinta-lah, dan ber-logika-lah selama hal itu dimungkinkan. Karena saat kita sudah menetapkan komitmen untuk mengikat yang sang dicintai (sekaligus di-ikat kepadanya) you gotta stick with ‘em, no matter how worse things are getting, you choose ‘em, they are Your’s consequence, and above all, it’s the ethical and charma-cal thing to do.

So, Good luck with your choice, mate :)

November 06, 2010

Siapa bilang orang Sunda gak bisa ngomong F? Itu PITNAH!!!

Banyak dari teman saya, seorang Sundaneese memiliki kesulitan dalam pengucapan huruf F dan V yang terselip dalam kata yang digunakan dalam perbincangan sehari-hari. Seringkali F&V dilafalkan P, sedangkan huruf P dilafalkan sebaliknya.

Huruf, misalnya, seringkali dilafalkan sebagai hurup.

Pulpen, dilafalkan fulfen – yang ini applied only ke Sundaneese yang freshly import from Jawa Barat :P

Tidak lupa pula kosakata Inggris yang umum dipakai, “Approve” yang kemudian dilafalkan sebagai Approp atau bahkan Avvrope.

Jahatnya, walaupun teman saya itu sering melakukan salah lafal itu, pun saya tetap sering mentertawakan hal tersebut bahkan kekeuh mengkoreksi perkataannya.

Suatu hari sepulang dari tour de travel of culinary, tentunya bersama seorang teman Sunda saya itu, kebetulan saya dan empat orang teman lainnya sedang membahas topik IMB yang waktu itu memang sedang hot2nya (berarti sekarang sudah gak hot ya? xP) dan kemudian dia menyebut salah satu kontestan Pangky Fafua. Dan tawa kami berlima pun langsung meledak. Maksud perkataannya adalah Funky Papua, lah kok ya bertransformasi menjadi Pangky Fafua yaaaa..???

Untung saja saat kami sedang makan di salah satu tempat makan di Bogor, ia tidak memesan Makaroni Fanggang!!

Eh, tiba2 jadi inget sama artis jadul Jinny oh Jinny itu.. Diana Funky ya namanya?

;P